Whistleblower Si Peniup Peluit

1714

Whistleblower atau peniup peluit identik dengan orang-orang yang membocorkan penyimpangan di dalam sebuah organisasi, baik organisasi swasta maupun organisasi pemerintah.

Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam instansi pemerintah dapat berupa penyimpangan dari nilai-nilai etika hingga berupa perbuatan korupsi. Whistleblower dapat merupakan seseorang yang memang terlibat dalam penyimpangan (justice collaborator) atau mereka yang tidak terlibat dalam penyimpangan namun mengetahui adanya penyimpangan.

Dalam hadis Nabi disebutkan barang siapa melihat kemunkaran maka hendaklah dia merubah dengan tangannya, apabila dia tidak mampu maka dengan lisannya (whistleblowing) dan apabila tidak mampu maka dengan hatinya. Hadis ini menjelaskan bahwa seseorang sebaiknya mengungkapkan kepada pihak lain apabila dirinya mengetahui bahwa telah terjadi penyimpangan.

Kasus-kasus korupsi tidak akan dapat terungkap seluruhnya tanpa bantuan whistleblower dan justice collaborator. Berdasarkan 2016 Global Fraud Study yang dilakukan oleh ACFE, diketahui bahwa para whistleblower memiliki peranan terbesar dalam pengungkapan kasus fraud dan korupsi.

Pada dasarnya whistleblower sangat penting dalam pengungkapan kasus korupsi karena posisi mereka di dalam organisasi memungkinkan mereka untuk mengetahui berbagai rahasia organisasi dan akses terhadap berbagai informasi organisasi. Peranan justice collaborator lebih penting lagi karena dirinya merupakan salah satu pihak yang terlibat dalam kasus korupsi.

Whistleblower memiliki dua sisi. Pada satu sisi, whistleblower dianggap sebagai pahlawan karena memiliki keberanian untuk mengungkapkan penyimpangan yang dilakukan organisasi pemerintah (fairness). Di sisi lain, sebagian orang dalam organisasi pemerintah menganggap whistleblower adalah pengkhianat karena telah mengungkapkan penyimpangan yang terjadi dalam organisasi (loyality) dan tidak memiliki semangat esprit de corps.

Berdasarkan kepada pihak mana whistleblower mengungkapkan penyimpangan yang diketahuinya maka whistleblower dikategorikan menjadi whistleblower internal dan whistleblower eksternal. Kedua kategori whistleblower ini memiliki berbagai manfaat dan risiko yang berbeda.

Whistleblower internal adalah pegawai yang mengungkapkan penyimpangan kepada pihak internal organisasi (melalui saluran-saluran yang ada dalam organisasi). Dengan mengungkapkan penyimpangan secara internal, maka risiko yang dihadapi whistleblower internal lebih rendah namun ada kemungkinan tindakannya mengungkapkan penyimpangan yang terjadi tidak akan memperoleh tanggapan dari pihak-pihak internal organisasi sebagaimana seharusnya.

Whistleblower eksternal adalah pegawai yang memilih untuk mengungkapkan penyimpangan yang terjadi kepada pihak-pihak di luar organisasi. Dengan menjadi whistleblower eksternal maka tindakannya mengungkapkan penyimpangan akan lebih cepat ditangani dengan risiko dirinya akan dimusuhi oleh pihak-pihak di dalam organisasi yang terlibat dalam penyimpangan tersebut.

Risiko-risiko yang dapat dihadapi oleh sang whistleblower antara lain:

Dimusuhi, diintimidasi dan dikucilkan rekan-rekan kerjanya karena dianggap tidak memiliki kesetiakawanan dengan rekan kerja dalam satu organisasi.
Dipecat dari pekerjaannya atau dimutasi ke organisasi lain yang terpencil.
Dipersulit dan dihambat karirnya.
Teror dari pihak-pihak yang dilaporkan hingga penyerangan secara fisik dan mental.

Whistleblower memilliki banyak dimensi, salah satunya adalah dimensi etika. Bagaimana etika memandang whistleblower? Apakah whistleblower merupakan perilaku beretika atau justru merupakan perilaku yang tidak beretika?

Dari segi etika, seseorang diwajibkan untuk mengungkapkan kasus-kasus korupsi yang diketahuinya karena korupsi sangat merugikan masyarakat. Berkaitan dengan alasan etika dalam situasi whistleblower, harus dipahami bahwa dalam konsep etika terdapat dua teori utama yaitu teori deontologi dan teori teleologi. Bagaimana kedua teori ini memandang whistleblower?

Teori deontologi memandang sebuah tindakan adalah tindakan yang bernilai baik karena tindakan tersebut dilakukan berdasarkan kewajiban yang dimiliki seseorang. Kewajiban seseorang di dalam hal ini dapat berupa kewajiban terhadap organisasi tempatnya bekerja dan kewajiban terhadap masyarakat.

Dengan demikian, seorang whistleblower memiliki dilema apakah dia akan mengutamakan kewajiban terhadap organisasinya atau kewajiban terhadap masyarakat. Dilema dan konflik etika seorang whistleblower menjadi semakin besar ketika pelaku penyimpangan adalah atasan atau rekan dekatnya, dibandingkan dengan apabila pelaku penyimpangan adalah orang yang tidak dikenal dengan baik.

Teori deontologi menjelaskan bahwa mengatakan kebenaran adalah sebuah kewajiban dan sebuah perbuatan yang beretika. Dengan demikian, ketika seorang aparat sipil negara mengetahui bahwa telah terjadi penyimpangan di dalam organisasi pemerintah tempatnya bekerja maka berdasarkan teori deontologi dirinya wajib mengungkapkan penyimpangan tersebut.

Teori teleologi menjelaskan bahwa etis atau tidaknya suatu tindakan dilihat dari apakah tindakan tersebut dapat mencapai tujuan yang diinginkan atau tidak. Etika teleologi juga memandang baik buruknya sebuah tindakan berdasarkan tujuan apa yang hendak dicapai dari tindakan tersebut. Apabila tujuan yang hendak dicapai adalah baik maka tindakan tersebut merupakan tindakan yang beretika. Baik buruknya tujuan yang dimaksud di sini dapat berupa baik untuk diri sendiri, baik untuk organisasi ataupun baik untuk masyarakat.

Dalam kasus whistleblower, satu hal yang paling ditakuti oleh para whistleblower internal adalah kekhawatiran tindakan mereka melaporkan penyimpangan yang terjadi tidak memperoleh respon yang baik dari pihak-pihak lain seperti atasannya. Dengan demikian, perbuatan sang whistleblower yang mengungkapkan penyimpangan yang terjadi dalam organisasi pemerintah secara internal kepada atasannya tidak memiliki makna apapun. Hal inilah yang kemudian mendorong para whistleblower untuk mengungkapkan penyimpangan yang diketahuinya ke masyarakat umum.

Dimensi lain dalam fenomena whistleblower adalah dimensi budaya. Budaya yang berkembang dalam sebuah organisasi dapat berupa budaya etis (ethical culture) atau sebaliknya berupa budaya yang tidak etis (unethical culture). Budaya beretika di dalam organisasi dibangun dalam rangka menciptakan perilaku beretika dalam organisasi tersebut. Implementasi budaya etis dalam organisasi lebih mendorong munculnya whistleblower dibandingkan dengan kebijakan dan prosedur formal sebuah organisasi mengenai whistleblowing.

Budaya yang tidak beretika mengakibatkan banyak individu yang melihat adanya penyimpangan namun memilih untuk tidak melaporkannya karena nilai-nilai etika, budaya dan perilaku kerja yang berkembang di dalam organisasi tidak mendukung. Pimpinan instansi pemerintah yang seharusnya menjadi pionir dalam pelaksanaan nilai-nilai etika justru tidak mendukung hal tersebut. Hal ini mengakibatkan sangat jarang ada whistleblower yang memiliki keberanian untuk mengungkapkan kasus korupsi yang ditemuinya ke publik, terutama ketika dirinya harus memberikan kesaksian di persidangan.

Budaya yang umum berlaku di Indonesia menekankan pada kebersamaan dan persaudaraan, menjadikan hubungan kerja antar individu-individu dalam sebuah organisasi di Indonesia cenderung menjauhi konflik antar sesama. Sebagai akibatnya para whistleblower yang berani mengungkapkan penyimpangan yang diketahuinya dengan risiko menghadapi konflik dengan pihak-pihak lain akan jarang muncul.

Whistleblower sendiri diatur dalam peraturan pemerintah tersendiri. Pasal 3 Ayat 10 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 menyatakan bahwa salah satu kewajiban PNS adalah melaporkan dengan segera kepada atasannya apabila mengetahui ada hal yang dapat membahayakan atau merugikan negara atau Pemerintah terutama di bidang keamanan, keuangan, dan materiil.

Keputusan seseorang menjadi whistleblower internal atau whistleblower eksternal dipengaruhi oleh budaya dan seberapa baik nilai-nilai etika menjadi pedoman dalam organisasi pemerintahan. Selain itu, komitmen pimpinan instansi pemerintah akan perilaku jujur dan beretika juga memegang peranan penting.

Apabila dalam organisasi pemerintahan terdapat kode etik yang dilaksanakan oleh semua orang, mulai dari pimpinan hingga bawahan, serta adanya dukungan pimpinan terhadap semua individu di dalam organisasi untuk selalu mengimplementasikan perilaku etis dan nilai-nilai etika maka seseorang akan lebih memilih untuk menjadi whistleblower internal.

Sebaliknya ketika pimpinan tidak mendukung perilaku etis bahkan cenderung berperilaku tidak etis maka seseorang akan lebih condong mendiamkan penyimpangan yang terjadi atau menjadi whistleblower eksternal.

BAGIKAN